Kamis, 19 Mei 2011

MAKALAH : "TRADISI TAHLIL KAUM MUSLIM NU (TRADISIONALIS) DAN PENGARUHNYA TERHADAP MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA "

A.   Pendahuluan
            Tradisi tahlil memang tidak asing bagi kalangan Muslim NU yang menganut paham “tradisionalis”. Tahlil merupakan perbuatan yang mengandung kebaikan. Artinya, tahlil bukan hanya untuk kepentingan almarhum, tetapi juga bagi orang-orang yang mendoakan serta membacanya tentu mendapatkan pahala karena kalimat-kalimat yang dibacanya.                                                                                                                           Tahlil berasal dari Bahasa Arab, yakni kata hallala yang mempunyai beberapa pengertian. Diantara maknanya adalah menjadi sangat, gembira, menyucikan, dan mengucapkan kalimat laa ilaaha illa Allah. Dari sekian banyak sekian arti yang ada, defini terakhirlah yang dimaksudkan dalam pengertian tahlil. Jika ditarik lebih jauh, maka kegiatan tahlil adalah kegiatan membaca kalimat laa ilaaha illa Allah ditambah dengan bacaan-bacaan tertentu yang mengandung fadhilah (keutamaan). Pahala dari bacaan tahlil ditujukan kepada orang muslim yang sudah meninggal dunia.                                 Pada dasarnya, refleksi utama dari tahlil adalah do’a untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Beranjak dari sinilah kita harus memahami bahwa tahlil jelas memiliki nuansa berdimensi spiritual. Tradisi semacam ini bias dikategorikan dalam symbol-simbol sebagai media dakwah untuk melestarikan aksistensi agama sebagai ajaran maupun agam sebagai ideologis. Namun di samping itu, kegiatan tahlil tidak pernah diajarkan bahkan dicontohkan oleh Rasululullah saw. Di sisi lain, hal ini sangat berbeda dengan kaum muslim NU “tradisionalis” yang sangat memegang teguh tradisi tahlil.
            Berdasarkan latar belakang masalah/konteks di atas, maka pertanyaan mayor sangat terkait dengan perdebatan tradisi tahlil yang dilakukan oleh kaum Muslim NU tentang pro dan kontra dibolehkan atau tidak kegiatan tahlil serta pengaruhnya terhadap masyarakat Muslim Indonesia. Dari pertanyaan mayor ini lalu muncul pertanyaan minor atau turunan dari mayor. Kemudian pertanyaan minor berhubungan dengan latar belakang kaum Muslim NU meyakini kegiatan tahlil tersebut. Dari kedua pernyataan ini perlu ada rumusan dalam bentuk pertanyaan mayor dan minor. Jelasnya, kedua pertanyaan tersebut untuk mengungkap tradisi tahlil yang dilaksanakan kaum Muslim NU dan pro dan kontranya.
            Pertanyaan mayor atau utama adalah bagaimana tradisi tahlil kaum Muslim NU dan pengaruhnya terhadap masyarakat Muslim Indonesia? Kemudian pertanyaan minor atau turunan adalah apakah latar belakang kaum NU melakukan tahlilan? Apa saja yang dibaca dalam kegiatan tahlilan? Apakah anggapan kaum Muhammadiyah sehingga mereka tidak melakukan kegiatan tahlil seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim NU?
            Dari generasi ke generasi, tradisi tahlil merupakan warisan yang senantiasa hidup di tengah-tengah masyarakat. Mereka atau masyarakat Muslim NU sudah terbiasa, setiap ada orang yang meninggal dunia, maka anggota keluarganya mengadakan tahlilan dengan memberitahukan segenap kerabat dekat maupun jauh dan juga masyarakat setempat.                                                                                                          Umumnya tahlilan diadakan selepas shalat maghrib di kediaman keluarga almarhum. Biasanya tahlilan berlangsung selama tujuh hari sejak hari kematian almarhum. Terkadang ada juga masyarakat yang menyelenggarakannya hanya pada hari pertama, hari ketiga dan hari ketujuh. Setelah itu kegiatan tahlilan dihentikan. Untuk mengenang kepergian almarhum kepangkuan illahi rabbi, keluarga mengadakan kembali pada hari keempat puluh, hari keseratus, menginjak satu tahun, dan tiga tahun kemudian. Kegiatan tahlilan bertujuan agar almarhum yang telah tiada mendapatkan ampunan dan rahmat Allah swt. Tahlil tidaklah mengganggu akidah seorang muslim dan bukan pula sumber utama terjadinya konflik atau perpecahan dalam masyarakat muslim Indonesia. Karena tahlil bukanlah masalah pokok tetapi hanya masalah cabang sehingga melakukan atau tidak melakukan tidak berdosa. Orang yang tidak melakukan tidak boleh melarang bahkan mengharamkannya.
B.   Body/Isi
1.   Teori
            Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan salah satu dari 20 teori yang ada dalam Komunikasi Antar Agama dan Budaya. Teori ini untuk menjadi landasan dan membingkainya dalam upaya mengarahkan kepada kebenaran yang sebenar-benarnya. Hali ini sangat penting dilakukan untuk memperkuat sebuah penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini memerlukan teori yang tepat sehingga teori yang tepat sehingga teori tersebut benar dalam penerapannya. Jadi, penggunaan teori ini dalam upaya mendasarkan penelitian kepada arah yang diharapakan oleh penulis.
            Teori yang digunakan adalah heriter la culture. Istilah teori ini dalam agama Islam adalah Al-Islam yang artinya penyerahan.. Ini menjelaskan bahwa suatu kelompok, masyarakat, yang mewarisi budayanya dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang. Lawan dari teori ini adalah acquirer la culture. Ini menerangkan bahwa suatu masyarakat berupaya untuk mengadopsi kultur-kultur yang baru dan berbeda dari warisan budayanya. Jelasnya, lebih kreatif dalam menerima budaya baru.[1]
         Teori heriter la culture berkaitan dengan kebudayaan tradisional (folk culture) yang intisarinya adalah perilaku yang merupakan kebiasaan atau cara berpikir dari suatu kelompok social yang ditampilkan melalui - tidak saja - adat istiadat tertentu tetapi juga perilaku adapt istiadat yang diharapkan oleh anggota masyarakatnya. Sedangkan folk-culture merupakan model komunitas masyarakat asli yang dicirikan oleh kegiatan ekonomi bagi pemenuhan kebutuhan sendiri, keakraban social di antara para anggota, kekuatan peran berdasarkan ritual dan tradisi, dan relatif terisolasi dari kehidupan urban. Konsep ini mewakili sebuah tekanan terhadap karakteristik dari nilai-nilai dan struktur social tradisional, komunitas pedesaan yang hadir dalam masyarakat yang kompleks.[2]
            Sedangkan lawan dari teori heriter la culture yaitu acquirer la culture brkaitan dengan teori fungisionalis yang diperkenalkan oleh Emile Durkheim yang mengemukakan bahwa masyarakat merupakan suatu jaaringan kompleks dari pelbagai satuan-satuan/entitas yang paling terkait seperti keluarga, pemerintahan, agama, ekonomi di mana setiap unit itu memberikan kontribusi satu terhadap yang lain dalam membentuk suatu keseluruhan. Setiap masyarakat mempunyai cara mengembangkan mekanisme guna membantu mereka untuk dapat beradaptasi demi kestabilan.
            Dengan demikian setiap pertukaran dan pengadopsian kultur baru yang berbeda adalah suatu proses dimana setiap masyarakat berusaha memelihara keseimbangan dengan menampilkan daya tahannya dan menimbulkan fungsi-fungsi yang normal dalam keseluruhan system yang kompleks itu.
            Teori fungisionalisme mengemukakan bahwa setiap kebudayaan manusia tumbuh dan berkembang atas tiga kebutuhan dasar manusia, yakni: (1) keinginan/kebutuhan dasar; (2) kebutuhan terhadap nafkah atau memperoleh keuntungan; dan (3) kebutuhan integrative atau kebutuhan untuk bersatu. Dengan demikian dibutuhkan pengadopsian terhadap kultur baru karena kebutuhan bukan suatu keharusan.
            Pertemuan budaya dan pertukaran serta pengadopsian budaya melalui komunikasi dihasilkan karena ada mekanisme yang membantu mereka untuk beradaptasi dan memperkuat stabilitasnya. Orang bugis yang beragama Islam yang pedagang, membutuhkan orang Kupang yang protestan dan seorang penjahit, murid membutuhkan guru, orang tua membutuhkan anak, pedagang membutuhkan pasar, semua membutuhkan rumah ibadah, dll. Pertukaran kebudayaan, gagasan, dan realisasi antara bagian-bgian itu dapat membantu masyarakat menangani keseimbangan dari unit yang berbeda-beda.[3]

2.   Metodologi
            Warisan masa lalu setelah zaman Nabi yang mengandung kebaikan sudah menjadi tradisi. Para sahabat Nabi dan generasi muslim setelahnya banyak melakukan hal-hal baru (yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah) yang baik dalam agama. Mereka menerima hal itu dan tidak pernah mengingkarinya. Tahlil adalah salah satu yang harus mereka lakukan. Tradisi ini dianggap baik oleh pengikutnya. Jelasnya, warisan yang mengandung unsur kebaikan harus diikuti dan diwariskan. Ini sesuai dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi: “Man tsanna fiil Islami sunnatan hasanatan falahu ajruhaa wa ajru man ‘amila min ba’dihi”.
         Artinya: “Barang siapa yang merintis (memulai) dalam Islam perbuatan yang baik, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang setelahnya yang melakukan perbuatan baik tersebut” (H.R. Muslim).[4]
         Bertolak dengan pernyataan di atas, maka yang menjadi studi kasusnya adalah NU di kediaman keluarga Mantan Presiden kedua kita yaitu almarhum Bapak Suharto (masih menjabat sebagai presiden) yang waktu itu bertepatan dengan meninggalnya Ibu Tien Suharto, dari pihak istana kepresidenan secara tiba-tiba menyelenggarakan tahlil dengan mengundang sejumlah kyai dan tokoh masyarakat. Berita ini tak urung menimbulkan tanda Tanya mayoritas masyarakat. Mungkin kita patut bertanya, ada apa sebenarnya? Sebab sebelumnya, tradisi tahlil rasanya agak riskan bila diselenggarakan di kalangan pejabat Negara. Tak salah jika beberapa orang yang hadir terlihat ‘kaku’ saat mengikuti baca-bacaannya, mengingat belum ada konsep tahlil yang matang dan baku versi istana. Sejak kejadian itu, tahlil menjadi budaya yang tenar sekaligus menasional[5].
         Dari kasus diatas bias disimpulkan bahwasanya Islam mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap “tradisi” masyarakat, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, hal itu sangat ma’qul (logis), mengingat kedudukan Islam sebagai agama global, yang dakwahnya menyentuh masyarakat dunia tanpa terkecuali.

3.   Analisis
            Bertitik tolak dari pertanyaan minor di atas, maka hal ini sangat berkaitan dengan upaya memberikan jawaban terhadap tradisi tahlil di kalangan NU. Jawaban ini sebagai bentuk analisis yang mengarahkan kepada awal latar belakang kaum Muslim NU melakukan dan meyakini kegiatan tahlilan sebagai tradisi mereka. Hal ini sangat penting diungkap untuk mendapatkan titik terang terhadap masalah yang terjadi. Kemudian juga untuk mengetahui apa yang diritualkan dalam kegiatan tahlilan tersebut. Begitu juga alas an kaum uslim Muhammadiyah tidak meyakini dan tidak melakukan kegiatan tahlilan. Jadi, perlu adanya penjelasan mengenai masalah ini.
            Tahlilan dilatarbelakangi oleh warisan budaya dari masa lalu yang menjadi tradisi. Tradisi yang dianggap baik dan diyakini kebenarannya.[6] Tradisi seperti ini lahir karena perlu dimaklumi, bahwa Nahdlatul Ulama (NU) lahir di Jawa, di tengah-tengah masyarakat Jawa yang kaya tradisi, kaya nilai budaya, dari Gamelan Jawa sampai Mistisisme Jawa, padahal misi dakwahnya adalah menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat. Disini dakwah NU ditantang, bukan hanya tentang materi apa yang ditawarkan, tetapi juga metodologi apa yang dipakai dan pendekatan apa yang dipilih? Ternyata yang menarik perhatian NU adalah cara-cara yang dipakai oleh Wali Songo, cara damai, cultural, berangsur-angsur, populis (merakyat), tapi efektif dan juga dinamis (dalam arti terus berkembang maju), dengan motto: Melestarikan kebaikan yang lama dan mengambil inovasi yang baru.


        
            Maka beberapa tradisi baik yang diwariskan contohnya seperti kegiatan tahlilan. Semuanya itu dipandang dan dijadikan media berkomunikasi dengan warga (umat) dan sarana pembinaan keberdayaan umat.
            Memang dakwah Islam di Indonesia pada masa awalnya lebih banyak mengakomodasi tradisi masyarakat dan budaya masyarakat lokal, sambil meng-internalisasi (menanamkan) nilai-nilai Islam dipandang sangat fundamental, seperti memperkenalkan Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah, memperkenalkan akhlak Islamiyah  yang dinilai mendasar, seperti “birru al-walidain” (berbuat bakti kepada orang tua). Dengan demikian mewariskan tradisi yang bernilai baik dan tidak bertentangan dengan kaidah Islam itu sendiri sangat berkaitan erat dengan misi Islam sebagai agama “Rahmatan li al-‘alamin” (rahmat untuk semua alam).[7]
            Ritual Bacaan yang dilafalkan ketika kegiatan tahlil berlangsung sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Kiranya tidak masalah apabila teks dan gayanya pun sangat bervariasi. Secara umum, dalam kegiatan tahlil bacaan yang dibawakan antara lain surat al-Fatihah, surat al-Ikhlas, surat al-Muawwidzatain yaitu sutah al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nass, permulaan dan akhiran surat al-Baqarah, ayat kursi, istighfar, tahlil (laa ilaaha illa Allah), tasbih (subhana Allah wa bihamdihi subhana Allah al-adhim), shalawat nabi dan do’a.[8]                                                                              Mengingat dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang maka selanjutnya acara itu biasa dikenal dengan istilah tahlilan.  
            Tahlilan dari susunan bacaannya terdiri dari dua unsur yang disebut dengan syarat dan rukun, yang dimaksud dengan syarat ialah bacaan :
1. Surat al-Ikhlas
2. Surat al-Falaq
3. Surat an-Nas
4. Surat al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 5 الم ذلك الكتاب .......
5. Surat al-Baqarah ayat 163 والهكم إله واحد ........ 
6. Surat al-Baqarah ayat 255 الله لاإله إلا هو الحي القيوم ........ 
7. Surat al-Baqarah ayat dari ayat 284 samai ayat 286 لله مافي السموات ...... 
8. Surat al-Ahzab ayat 33 إنما يريد الله ........ 
9. Surat al-Ahzab ayat 56إن الله وملائكته يصلون على النبي ........ 
10. Dan sela-sela bacaan antara Shalawat, Istighfar, Tahlil da Tasbih
            Adapun bacaan yang dimaksud dengan rukun tahlil ialah bacaan :
1. Surat al-Baqarah ayat 286 pada bacaan :واعف عنا واغفر لنا وارحمنا 
2. Surat al-Hud ayat 73: ارحمنا ياأرحم الراحمين 
3. Shalawat Nabi
4. Istighfar
5. Kalimat Thayyibah لاإله إلاالله
6. Tasbih[9]
.           Kaum Muslim Muhammadiyah beranggapan bahwa kegiatan tahlil tidak dianjurkan bahkan tidak diperbolehkan dalam melaksanakannya. Karena mereka mengaggap bahwa kegiatan itu sebagai bid’ah (sesuatu yang baru) yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Selain itu tidak ada dasar hukum yang jelas mengenai tahlil.[10] Dan juga tidak sampainya pahala tahlil kepada almarhum dan almarhumah sebagai mana hadits nabi Rasulullah yang artinya:
            Jika anak/keturunan Nabi Adam sudah meninggal, maka terputuslah segala amal kecuali tiga perkara:
1. Shodaqoh jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat, dan
3. Anak sholeh yang mendoakan yaitu pahala tahlil tidak sampai kepada almarhum
            Berikut diantara pernyataan resmi Muhammadiyah terkait tahlilan dalam sebuah jawaban dari pertanyaan dari Siswo S., Mojokerto, Jawa Timur (disidangkan pada Jum’at, 19 Ramadan 1429 H / 19 September 2008 M) :                                    "Masalah tahlilan orang yang meninggal dunia merupakan masalah khilafiyah (terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama). Di kalangan para pendukung gerakan Islam pembaharu (tajdid) yang berorientasi kepada pemurnian ajaran Islam, seperti Muhammadiyah, sepakat memandang tahlilan orang yang meninggal dunia sebagai bid'ah yang harus ditinggalkan karena tidak ada tuntunannya dari Rasulullah.[11]
           
C.   Kesimpulan
            Kita harus selalu menyadari bahwasanya kegiatan tahlilan seperti yang biasa dilakukan masyarakat kita sebenarnya memang tidak pernah dilakukan, diajarkan, dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Karena itu kita tidak perlu memaksakan diri untuk menyelenggarakannya. Jika kita tidak mampu, sebaiknya acara seperti itu tidak perlu dilakukan. Apalagi jika harus berhutang pada tetangga untuk menjamu tamu yang hadir. Masih banyak cara lain untuk mendoakan keluarga kita yang sudah meninggal selain dengan cara tahlilan.
            Namun harus kita ketahui tradisi sudah turun temurun dilakukan bahkan diwariskan oleh pendahulu kita, yang memang tradisi tahlil ini mengandung kebaikan dan simbol-simbol dari media dakwah umat Islam. Selain daripada itu Islam adalah agama global, yang dakwahnya menyentuh masyarakat dunia tanpa kecuali, sekaligus sebagai agama akhir yang membingkai kehidupan manusia sampai hari kiamat, dengan segala perkembangan, kemajuan, dan dinamika peradabannya, termasuk segala bentuk tradisi local dan nasional yang berkembang.
            Dengan demikian untuk menengahi masalah tradisi tahlil yang dengan segala bentuk pro kontra tersebut di atas, maka kedua belah pihak yaitu NU dan Muhammadiyah perlu mengadopsi kultur mengadopsi kultur-kultur yang baru dan berbeda dari warisan budayanya. Sehingga segala bentuk perbedaan bisa dimaklumi bahkan dijadikan ajang untuk saling membentuk persatuan dan kesatuan maka tidak ada lagi perdebatan sepele mengenai hal ini.  































DAFTAR PUSTAKA


1.   Bakti, Andi Faisal.  Communication And Family Planning In Islam In Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program. Jakarta: Leiden, 2004.
2.   Hidayah. Budaya Islam: Tahlil. Edisi 39. Jakarta: PT. Variapop Group. Oktober 2004.
3.   Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007.
4.   Hasan, Muhammad Tholhah. Alussunnah Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU. :Jakarta: Lantabora Press, 2005.
6.   Majelis Fathul Hidayah. http://majelisfathulhidayah.wordpress.com, Peta Organisasi: Tahlilan Dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir (HTI), Majelis Rasulullah, FPI dan Lainnya. Juni 27, 2011.


[1] Andi Faisal Bakti, Communication And Family Planning In Islam In Indonesia: South Sulawesi Muslim Perceptions of a Global Development Program, (2004, Leiden: Jakarta), h.128
[2] Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, (2007, Pustaka Pelajar Offset: Yogyakarta), h.113
[3] Ibid, h. 245-247
[4] Syahamah, Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, (2005, Syahamah Press: Jakarta), h. 97-99
[5] Hidayah, Budaya Islam: Tahlil, (2004, PT. Variapop Group: Jakarta), h.108-109
[6] Ibid, h. 108-109
[7] Muhammad Tholhah Hasan, Alussunnah Wal-Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU, (2005, Lantabora Press: Jakarta), h.214-215
[8] Hidayah, Ibid. h.108-109
[10] Hidayah, Ibid. h.108-109

[11] Majelis Fathul Hidayah, http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2011/06/27/peta-organisasi-tahlilan-dalam-pandangan-nu-muhammadiyah-hizbut-tahrir-hti-majelis-rasulullah-fpi-dan-lainnya/, Peta Organisasi: Tahlilan Dalam Pandangan NU, Muhammadiyah, Hizbut Tahrir (HTI), Majelis Rasulullah, FPI dan Lainnya, (Juni 27, 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar