Kamis, 29 Desember 2011

MENUNTUT ILMU=KEMULIAAN

          “Tuntutlah Ilmu dari Buaian Sampai Ke Liang Lahat” mungkin inilah petikan hadits nabi yang menggugah banyak orang termasuk saya untuk memberikan apresiasi lebih kepada ilmu. Bagaimana tidak setiap sesuatu hal yang kita lakukan berdasarkan ilmu. Dari membaca buku, menghitung, menulis,dll sebagainya, membutuhkan yang namanya ilmu, bahkan sampai sepak bola menggunakan ilmu. Tanpa ilmu hidup kita akan sepi “Ilmu itu Cahaya dan Bodoh itu Gelap”. Dengan ilmu hidup kita akan lebih terarah dan tanpa ilmu seperti kita berjalan di tengah kegelapan tanpa cahaya dan tanpa tuntunan. Ada satu petikan kata-kata mutiara: “Tidurnya orang berilmu lebih mulia daripada seseorang yang beribadah tanpa ilmu”. Ini menunjukkan bahwa seorang yang berilmu akan disertai kemuliaan dalam setiap tarikan nafas hidupnya.                               



        Berbicara tentang ilmu, saya teringat sepenggal kata-kata dari ayah saya yang sangat menggugah hati saya. Ketika itu saya menemani ayah saya untuk mengambil uang bantuan guru yang memang kebetulan adalah profesi dari ayah saya,  bantuan itu diberikan oleh salah satu bank swasta di indonesia. Sesampainya di sana, saya mulai mengambil slip penarikan, lalu menunggu, kemudian dipanggil oleh pihak teller. Sampai di hadapan teller, ternyata nomor KTP ayah saya sudah berubah karena memang KTP ayah saya baru diganti. Nah, pihak teller menyuruh ayah saya untuk menuju meja CS (Customer Service), untuk mengubah dan mengkonfirmasi KTP baru ayah saya.         
         Nah disinilah hati saya tergugah, di salah satu isian data untuk ayah saya ada kolom hobi. Saya pun bingung?? Hobi ayah saya apa??? Sepak bola??? Ah ....saya rasa tidak???  Tidak pikir panjang lagi maka saya menanyakan langsung  kepada belia. Baba (sapaan saya untuk ayah saya) hobi baba apaan??? Dengan ucapan yang enteng dengan penuh keikhlasan dan ketulusan ayah saya mengeluarkan kata-kata yang memang terkesan aneh atau tidak biasa bagi saya , “Menuntut Ilmu”. Hah??? (terbengong sesaat). Hati saya sesaat bergetar hebat, jari-jemari yang tadinya begitu mudah dan tanpa kesulitan untuk menggoreeskan kata-kata di kolom isian data, sepersekian detik melambat. Saya mulai berkomunikasi dengan intrapersonal saya, “Kok bisa sih? hobi yang biasanya diisi dengan sepak bola, baca buku, bersepeda, travelling, mancing, dll. Oleh ayah saya diisi dengan” menuntut ilmu”, tidak habis pikir. Manusia setua ayah masih mau dan berkeinginan untuk menuntut ilmu? Padahal ayah saya seorang guru, muridnya ratusan, keilmuannya melebihi cukup, akhlaknya santun, seorang da’i pula. Tapi kok? masih mau untuk menuntut ilmu?? , padahal juga dengan kredibilitasnya sekarang seharusnya beliau tidak usah capek-capek untuk menuntut ilmu lagi??? Toh ilmunya udah banyak, jadi guru pula? buat apa lagi menuntut ilmu yang lebih lagi???           
        Saya mulai berpikir “Saya malu dengan diri saya, walaupun saya berpredikat muda tapi keseriusan belajar saya masih dipertanyakan, bahkan dengan tenaga yang super mudapun saya tidak bisa menandingi semangat ayah saya dalam keseriusannya menuntut ilmu tanpa kenal lelah. Apa lagi, suatu ketika pernah saya melihat sosok ayah yang pada hari minggu pagi dalam keadaan cuaca hujan masih saja berusaha datang untuk menghadiri majelis ta’lim untuk mencari ilmu, sedangkan saya masih berselimut di ruang tidur. Sungguh keadaan yang luar biasa bagi saya.


       Nah dari sini saya ambil kesimpulan bahwasanya menuntut ilmu tidak mengenal batas waktu, usia, keadaan, atau sebagainya. Walaupun kita tidak muda lagi, hanya keriput yang menemani kita, tapi menuntut ilmu tetap sebagai prioritas utama. Karena ilmu adalah barang langka dan tak pernah ada habisnya, jangan kita merasa cukup terhadap ilmu yang kita dapatkan, tapi carilah sebanyak- banyaknya. Karena ilmu yang menemani kita dalam mengarungi kehidupan kita. Ilmu membuat hidup lebih mudah, lebih ceria, lebih indah, lebih dari yang kita bayangkan dan salah satu kunci kehidupan.                                     Dan cara mendapatkannya hanya dengan kesungguhan, ketulusan, kesabaran, keikhlasan, dan selalu merasa haus dan kekurangan. Dengan demikian ilmu akan kita dapatkan, setelah kita dapatkan maka amalkan karena ilmu yang tidak diamalkan tidak akan bermanfaat, ilm yang bermanfaat adalah ilmu yang diamalkan dan akan menolong kita semua di akhirat kelak, hadits nabi menyebutkan : “Jika telah meninggal anak adam maka terputuslah semua amal kecuali tiga : 1. Shodaqoh jariyah, 2. Ilmu yang bermanfaat, 3. anak yang sholeh yang selalu mendoakan”.

MAKALAH: PERKEMBANGAN SISTEM PERS DI INDONESIA PASCA ORDE BARU


A.   Pendahuluan
            Pers merupakan media komunikasi yang memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Setiap pemberitaan yang diterbitkan oleh pers itulah yang membuat masyarakat mau tidak mau terpengaruh Bentuk media komunikasi tersebut adalah elektronik dan cetak. Contoh media cetak seperti: koran, majalah, artikel, dan lain-lain. Sedangkan media elektronik di antaranya radio, film, televisi, dan internet. Dari dua contoh tadi, jelas itu menimbulkan dua pengertian pers yaitu yang pertama, dalam arti kata sempit pers adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Sedangkan pers dalam arti kata luas adalah yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik.                                                           Sistem Pers Indonesia berkembang pasca Orde Baru untuk menjamin kebebasan pers yang bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dari informasi yang sesuai dengan etika dan moralitas masyarakat. Di satu sisi, ini merupakan pembebasan pers yang mengutamakan etika yang berkembang di masyarakat. Di sisi lain, Sistem Pers Indonesia menjadi alat kritik yang berlebihan dan tidak sesuai dengan etika terhadap pemerintahan pasca Orde Baru. Jelasnya, Sistem Pers Indonesia pasca Orde baru menyimpang dari sistem awalnya yang seharusnya mengutamakan etika tetapi malah menjadi berlebihan dalam pemberitaan sehingga menimbulkan immoralitas.
            Berdasarkan latar belakang masalah/konteks di atas, pertanyaan mayor berkaitan dengan Sistem Pers Indonesia pasca Orde Baru dan penyimpangannya. Dari pertanyaan mayor ini dapat dikembangkan menjadi pertanyaan minor yang berhubungan dengan Sistem Pers yang memang mengatur jalannya pers di Indonesia. Maka pertanyaan mayor dan minor memerlukan jawaban dari beberapa pertanyaan. Jelasnya, Sistem Pers yang berisi aturan dalam pers banyak menimbulkan banyak pertanyaan.
            Dalam merumuskan kedua pertanyaan tersebut di atas, maka pertanyaannya terdiri atas mayor atau utama dan minor atau turunan. Pertanyaan mayor atau utama adalah bagaimana perkembangan Sistem Pers Indonesia? Kemudian pertanyaan minor atau turunan adalah siapakah yang memengaruhi SPI? Di manakah Posisi SPI? Apakah yang menjadi landasan SPI?
            Perkembangan Sistem Pers Indonesia memang membawa dampak yang sangat besar. Diawali dari tumbangnya rezim Orde Baru yang menandai awal perubahan Sistem Pers Indonesia. Sistem Pers Indonesia mengalami perkembangan, yang sebelumnya pers dikuasai dan dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah. Sebelum penerbitan berita oleh pers, pers harus melewati salah satu lembaga yang dibuat pemerintah untuk perizinan penerbitannya yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP). Sehingga pers yang tidak pro terhadap pemerintahan maka akan dibredel. Namun hal itu berbanding terbalik sejak Orde Baru runtuh pemerintah menjamin penuh kebebasan pers yang termaktub dalam UU pokok pers namun sesuai dengan koridor-koridor yang ditentukan. Koridor yang ditentukan berdasarkan tanggung jawab pers dalam pemberitaan. Pemberitaan yang beretikalah yang menjadi landasan utama Sistem Pers Indonesia.                                                        Namun di balik hal itu, kadang kala ada di antara salah satu pers yang berlebihan dalam pemberitaan yang sifatnya destruktif/menjatuhkan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada di masyarakat. Dan hal ini bertentangan dengan UU pokok pers No. 21 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat kontruktif yaitu membangun. Jelasnya, SPI pasca Orde Baru harus bertanggung jawab.



B.   Body/Isi

1.   Teori
            Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan salah satu dari empat teori yang ada dalam Sistem Komunikasi Indonesia. Teori ini sangat penting untuk menjadi landasan dan membingkainya dalam upaya mengarahkan kepada kebenaran. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memperkuat sebuah analisis dari penelitian penulis. Penelitian ini memerlukan teori yang tepat sehingga teori tersebut benar dalam penerapannya. Jadi, penggunaan teori ini dalam upaya mendasarkan penelitian kepada arah yang diharapkan.
            Teori yang digunakan adalah teori tanggung jawab sosial (social responsibility). Ini menjelaskan bahwa sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan. Ini tidak hanya dilihat dari istilah “kebebasan pers yang bertanggung jawab” seperti yang kita kenal selama ini. Namun berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan moral dan etika masyarakat. Disamping itu, ini sebagai kontrol dari kebebasan mutlak[1].
            Teori pers bertanggung jawab sosial ini relatif merupakan teori baru dalam kehidupan pers di dunia, dan tidak seperti teori pers bebas libertarian, teori ini memungkinkan dimilikinya tanggung jawab oleh pers. Dengan teori ini juga pers pers memberikan banyak informasi dan menghimpun segala gagasan atau wacana dari segala tingkat kecerdasan.
            Teori pers bertanggung jawab sosial ini merespon pendapat bahwa orang dengan sia-sia mengharapkan adanya pasar media yang mengatur sendiri dan mengontrol sendiri sebagaimana digembor-gemborkan oleh pendukung teori pers libertarian, fungsi ganda media massa yang dimiliki oleh perusahaan swasta, yaitu mencari untung dan melayani para pengiklan mereka versus melayani publik hanya dipenuhi secara sepihak. Secara teoritis sistem tanggung jawab social diangkat oleh Theodore Peterson di dalam judul buku Four Theories of the Press. Menurut Peterson bahwa kebebasan dan kewajiban bertanggug jawab selalu bergandengan.[2]
            Sistem social responsibility berdasar kepada pengetahuan manusia. Dengan rasionya maka manusia dapat membedakan mana hal-hal yang bermanfaat, yang baik dan mana yang tidak bermanfaat dan tidak baik. Apabila manusia itu sebagai insan pers atau mereka yang bergerak dibidang pers, maka mereka dapat  membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, sehingga semua tanggung jawab di dalam menransformasi pesan-pesan komunikasi dan informasi melalui pers.
            Sistem tanggung jawab sosial berada dalam dua ambang sistem yaitu: “Ambang authoritarian” dan “Ambang Libertarian”.
            Pada dasarnya kehidupan manusia menginginkan suatu kebebasan dari kekangan, tekanan penguasa. Terlalu ketatnya peraturan yang mengatur kehidupan dalam tatanan suatu sistem pada prinsipnya merupakan suatu hambatan untuk mengembangkan cita-cita, ide atau kehendak, sehingga fungsi primer dari suatu sistem tidak mungkin dapat dicapai. Demikian pula halnya  kehidupan pers atau kehidupan media massa pada dasarnya tidak menghendaki adanya turut campur pemerintah yang terlalu jauh.
            Dalam konteks social responsibility system, maka kecenderungan ke “Ambang authoritarian” mungkin terjadi apabila penguasa menandakan pengendalian terlalu ketat dalam bentuk peraturan perundangan dengan sanksi-sanksi hukumnya. Pada tangga ini maka pers menjadi alat penguasa di dalam menjalankan peran kekuasaannya. Namun sebaliknya apabila penguasa memberi kebebasan kepada kehidupan pers maka tanggung jawab sosial dalam “Ambang libertarian”. Jelasnya, Teori ini atau sistem ini tidak memiliki kejelasan dalam identitasnya.[3]
            Teori Tanggung Jawab Sosial juga merupakan pengawalan hak-hak warga Negara, yaitu mengawal dan mengamankan hak-hak pribadi. Demikian pula halnya, bila ada massa rakyat berdemonstrasi, pers harus menjaga baik-baik jangan sampai timbul tirani golongan mayoritas di mana golongan minoritas itu menguasai  dan menekan golongan yang minoritas.

2.   Metodologi
            Sistem Pers Indonesia membuat masyarakat bebas mengeluarkan aspirasinya pasca Orde Baru. Begitu juga sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara-cara demokratis tetapi bertanggung jawab. Salah satunya dengan memberitakan korupsi yang dilakukan pemerintah sesuai fakta yang akurat. Penekanan tanggung jawab sosial dianggap penting. Jelasnya, negara adalah masyarakat.[4]
            Pers yang bekerja berdasarkan teori tanggung jawab harus dapat menjamin hak setiap pribadi untuk didengar dan diberi penerangan yan dibutuhkannya. Dalam beberapa hal rakyat hendaknyadiberi kesempatan untuik menulis dalam media untuk melancarkan kritik-kritiknya terhadap segala sesuatu yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga kadang-kadang mgritk medianya sendiri.
            Ada 5 syarat pers yang bertanggung jawab bagi masyarakat :
1. Media harus menyajikan berita-berita peristiwa sehari-hari yang dipercaya, lengkap, dan cerdas dalam konteks yang memberikannya makna.
2.   Media harus berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik.
3.   Media harus memproyeksikan gambaran yang benar-benar mewakili dari kelompok-kelompok konstituen dalam masyarakat. Ketika gambaran yang disajikan media gagal menyajikan suatu kelompok sosial dengan benar, maka pendapat disesatkan; kebenaran tentang kelompok manapun harus benar-benar mewakili; ia harus mencakup nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi kelompok, tetapi ia tidak boleh mengecualikan kelemahan-kelemahan dan sifat-sifat buruk kelompok.
4.   Media harus menyajikan dan menjelaskan tujuan-tujuan dan nilai-nilai masyarakat.
5.   Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi-informasi yang tersembunyi pada suatu saat. (Ada kebutuhan untuk “pendistribusian berita dan opini secara luas.”)[5]

3.   Analisis
            Bertitik tolak dari pertanyaan minor di atas, maka hal ini sangat berkaitan dengan upaya memberikan jawaban tentang perkembangan SPI pasca Orde Baru yang keberadaannya tidak disertai identitas yang jelas sehingga memicu terjadinya penyimpangan. Hal ini terjadi karena SPI dipengaruhi oleh nilai, filsafat dan ideologi suatu negara dan ini disebabkan karena latar belakang sosial politiknya.[6]                              Kehidupan pers dalam suatu negara bergantung pada sistem politik atau ideologi yang dianut oleh negara tersebut karena sistem pers merupakan bagian dari sistem negara. Memang jika kita melihat kembali lembaran-lembaran sejarah pers, peristiwa yang dialami dan menimpa kehidupan pers (khususnya pers dalam negeri) selalu berkaitan dan bergantung pada pengawasan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Pada orde baru dengan Soeharto sebagai pemimpinnya, kehidupan pers dibatasi secara ketat, bahkan cenderung dikekang. Hal itu dapat dilihat dari pembreidelan beberapa surat kabar pada 1974 setelah peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Contoh yang terkenal ialah Harian Indonesia Raya dengan Mochtar Lubis sebagai punggawanya. Hal itu dilakukan untuk menjaga pers yang pada saat itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini publik dan mencegah terjadinya ketidakstabilan politik akibat pemberitaan agar pembangunan, yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pada saat itu melalui Pembangungan Jangka Panjang (PJP) dan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang terkenal dengan ideologi developmentalisme-nya, dapat berjalan lancar.                                                Pers yang berada di bawah sistem negara sangat bergantung pada sistem yang ditentukan oleh negara, yakni sistem politik. Sistem politik, yang tergolong dalam suprastruktur, merupakan cerminan dari kehidupan pada infrastruktur atau basis, yaitu kehidupan ekonomi. Jika dilihat dari faktor utama yang memiliki pengaruh kuat terhadap faktor lainnya seperti yang telah digambarkan sebelumnya maka faktor ekonomilah yang paling berpengaruh terhadap segala sendi kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara (sejak berdirinya negara modern) dan kehidupan pers di dalam suatu negara.[7]
            Bila diamati, posisi SPI berada pada sistem pers tanggung jawab sosial. Dimana pemberitaan harus bisa dipertanggung jawabkan kepada rakyat. SPI bila diamati dan dilihat dari sejarah tidak serta merta langsung berposisi kepada sistem tanggung jawab  sosial. Karena SPI mengacu kepada tanggung jawab sosial sejak pemerintahan zama reformasi.                                                                                                                         Pada masa reformasi, keluarlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
1.   Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan
3.   Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
4.   Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
5.   Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. UU RI No. 40 Tahun 1999, antara lain juga menjamin kebebasan pers serta mengakui dan menjamin hak memperoleh informasi dan kemerdekaan mengungkapkan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani sebagai hak manusia yang paling hakiki.
            Pers Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan
perkembangan zaman. Pers di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan identitas/posisi. Adapun perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
    Tahun 1945-an, pers Indonesia dimulai sebagai pers perjuangan
    Tahun 1950-an dan tahun 1960-an menjadi pers partisan yang mempunyai tujuan sama dengan partai-partai politik yang mendanainya
    Tahun 1970-an dan tahun 1980-an menjadi periode pers komersial, dengan pencarian dana masyarakat serta jumlah pembaca yang tinggi
    Awal tahun 1990-an, pers memulai proses repolitisasi
    Awal reformasi 1999, lahir pers bebas di bawah kebijakan pemerintahan B.J. Habibie yang kemudian diteruskan pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.[8]                                                            
            Pers Indonesia perlu tetap memiliki landasan untuk menghindari ironi, tirani, dan bahkan hegemoni kekuasaan dalam tubuh pers itu sendiri. Oleh karena itu, pers Indonesia memiliki landasan sebagai berikut ;
1.      Landasan Idiil.
Landasan pertama, yakni landasan idiil pers, tetap pancasila. Artinya, selama ideologi negara tidak diganti, suka atau tidak suka, pers nasional kita harus tetap merujuk kepada pancasila sebagai ideologi nasional, dasar negara, falsafah hidup bangsa, sumber tata nilai, dan sumber dari segala sumber hukum.
2.      Landasan Konstitusional.
Landasan yang menunjuk kepada UUD 1945 setelah empat kali dilakukan amandemen dan ketetapan MPR yang mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan kebebasan menyatakan pendapat dengan lisan dan tulisan.
3.      Landasan Yuridis Formal.
Mengacu kepada UU Pokok Pers No. 40/ 1999 untuk pers, dan UU Pokok Penyiaran No. 32/ 2002 untuk radio siaran dan media televisi siaran.
4.      Landasan strategis Operasional.
Landasan ini mengacu kepada kebijakan redaksional media pers masing-masing secara internal yang berdampak kepada kepentingan sosial dan nasional.
5.      Landasan Sosiologis Kultural.
Landasan ini berpijak pada tata nilai dan norma sosial budaya agama yang berlaku dan sekaligus dijunjung tinggi oleh masyarakat bangsa Indonesia.
6.      Landasan Etis Profesional.
Landasan ini menginduk kepada kode etik profesi. Setiap organisasi profesi pers harus memiliki kode etik. Secara teknis, beberapa organisasi pers bisa saja sepakat hanya menginduk kepada satu kode etik. Tetapi secara filosofis, setiap organisasi pers harus menyatakan terikat dan tunduk kepada ketentuan kode etik. Ini berarti tiap organisasi pers boleh memiliki kode etik sendiri-sendiri, boleh juga menyepakati kode etik bersama.[9]

C.   Kesimpulan
     Sistem Pers merupakan bagian atau subsistem dari sistem yang lebih besar, yaitu sistem komunikasi, sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian dari sistem kemasyarakatan ( sosial ) yang lebih luas. Inti permasalahan dalam membicarakan suatu sistem pers, adalah sistem kebebasannya. Suatu sistem pers diciptakan untuk menentukan bagaimana sebaik-baiknya pers itu dapat melaksanakan kebebasan dan tangungg jawabnya.                                                                              Dilihat dari perkembangannya sistem pers Indonesia dari era suatu pemerintahan, yakni ORDE lama, ORDE baru, dan Reformasi. Sedangkan sistem pers yang saat ini dianut yakni Pers tanggung jawab sosial, dimana pers harus bertanggung jawab terhadap apa yang diberitakan dan sesuai dengan apa yang dicita-citakan dalam isi dari pancasila. Dalam menjalankan sistem persnya Indonesia memiliki landasan persnya yakni landasan idil, landasan konstitusional, landasan yuridis formal, landasan operasional, landasan sosiologis kultural dan landasan etis profesional.                                                                                                                         Namun dibalik hal itu, SPI sebenarnya memberikan kebebasan terhadap masyarakat. Untuk mengaspirasikan pendapatnya. Kemudian juga dilihat dari banyaknya media massa yang melayangkan kritik terhadap pemerintah. Namun setiap kebebasan perlu adanya batasan dan tanggung jawab. Hal ini supaya moral dan etika masyarakat tetap terjaga




















DAFTAR  PUSTAKA

1.  Nuruddin, Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2004.
2. Hikmat dan Purnama, Jurnalistik: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.
3.   Mulyana, Dedi Dkk, Perbandingan Sistem Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka, 2004.
4.   Denoan, Ekonomi Pada Awalnya. http://catatancalonwartawan.wordpress.com /tag/sistem-pers/. 26Juli, 2009.
5.   Vita, Perkembangan Sistem Pers Indonesia. http://vitakent.blogspot.com /2010/04/  perkembangan-sistem- pers-di-indonesia.html. Minggu, 11 April 2010.
6.   Lucky, Sistem Pers di Indonesia. http://luckybae.blogspot.com/2010/04/sistem-pers-di-indonesia.html. htmlRabu, 14 April 2010.




[1] Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia, , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 75
[2] Hikmat dan Purnama, Jurnalistik: Teori dan Praktek, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) h. 22-23
[3] Mulyana, Dedi Dkk, Perbandingan Sistem Komunikasi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2004) h. 5.11-5.12
[4] Nuruddin, Ibid. h.74
[5] Hikmat dan Purnama, Ibid. h. 21-22
[6] Nuruddin, Ibid. h. 71
[7] Denoan, Ekonomi Pada Awalnya, (http://catatancalonwartawan.wordpress.com /tag/sistem-pers/, 26 Juli. 2009)
[8] Vita, Perkembangan Sistem Pers Indonesia, (http://vitakent.blogspot.com /2010/04/  perkembangan-sistem- pers-di-indonesia.html, Minggu, 11 April. 2010)
[9] Lucky, Sistem Pers di Indonesia, (http://luckybae.blogspot.com/2010/04/sistem-pers-di-indonesia.html. html, Rabu 14 April. 2010)

ABSTRAK: PERKEMBANGAN SISTEM PERS DI INDNOESIA PASCA ORDE BARU


Pers merupakan media komunikasi yang memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Bentuk media komunikasi tersebut adalah elektronik dan cetak. SPI berkembang pasca Orde Baru untuk menjamin kebebasan pers yang bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dari informasi yang sesuai dengan etika dan moralitas masyarakat. Di satu sisi, ini merupakan pembebasan pers yang mengutamakan etika yang berkembang di masyarakat. Di sisi lain, SPI menjadi alat kritik yang berlebihan dan tidak sesuai dengan etika terhadap pemerintahan pasca Orde Baru.
         Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimana perkembangan SPI? Kemudian pertanyaan minornya adalah siapakah yang memengaruhi SPI? Di manakah Posisi SPI? Apakah yang menjadi landasan SPI?
         Tumbangnya rezim Orde Baru menandai awal perubahan SPI. SPI mengalami perkembangan, yang sebelumnya pers dikuasai penuh oleh pemerintah, namun sejak Orde Baru runtuh pemerintah menjamin penuh kebebasan pers namun sesuai dengan koridor-koridor yang ditentukan. Koridor yang ditentukan berdasarkan tanggung jawab pers dalam pemberitaan. Namun kadang kala ada pers yang berlebihan dalam pemberitaan yang sifatnya menjatuhkan dan tidak sesuai dengan fakta. Hal ini bertentangan dengan UU pokok pers yang mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat kontruktif. Jelasnya, SPI pasca Orde Baru harus bertanggung jawab.
         Teori yang digunakan adalah teori tanggung jawab sosial (social responsibility). Ini menjelaskan bahwa sebebas-bebasnya pers harus bisa bertanggung jawab kepada masyarakat tentang apa yang diaktualisasikan. Berbagai aktualisasi pers pada akhirnya harus disesuaikan dengan moral dan etika masyarakat. Disamping itu, ini sebagai kontrol dari kebebasan mutlak. Jelasnya, pers lebih menekankan pada kepentingan umum (Nurudin; 2004: 75).
         SPI membuat masyarakat bebas mengeluarkan aspirasinya pasca Orde Baru. Begitu juga sebagai protes terhadap kebebasan mutlak dari libertarian yang mengakibatkan kemerosotan moral masyarakat. Hal ini dilakukan dengan cara-cara demokratis tetapi bertanggung jawab. Salah satunya dengan memberitakan korupsi yang dilakukan pemerintah sesuai fakta yang akurat. Penekanan tanggung jawab sosial dianggap penting. Jelasnya, negara adalah masyarakat (Nurudin; 2004: 74).
         SPI dipengaruhi oleh nilai, filsafat dan ideologi suatu negara. Hal ini disebabkan karena latar belakang sosial politiknya. Bila diamati, posisi SPI berada pada sistem pers tanggung jawab sosial. Dimana pemberitaan harus bisa dipertanggung jawabkan kepada rakyat. Landasan SPI adalah pancasila. Sebagai contoh pers dianggap tidak bertanggung jawab pada masyarakat, bila ikut menyebarkan ajaran komunis kepada masyarakat (Nurudin; 2004: 71-76).
         SPI sebenarnya memberikan kebebasan terhadap masyarakat. Untuk mengaspirasikan pendapatnya. Kemudian juga dilihat dari banyaknya media massa yang melayangkan kritik terhadap pemerintah. Namun setiap kebebasan perlu adanya batasan dan tanggung jawab. Hal ini supaya moral dan etika masyarakat tetap terjaga.
         Keywords: SPI, tanggung jawab sosial, moral, aspirasi, dan Orde Baru.